Namanya memang
Sekolah Rebo. Namun sejatinya ini adalah sebuah komunitas belajar kaum
perempuan di kawasan Kecamatan Depok, Sleman. Dinamakan Sekolah Rebo lantaran
jadwal pelajarannya hanya berlangsung tiap Rebo alias hari Rabu, sekali dalam
sebulan. Masing-masing anggota Sekolah Rebo memiliki keterampilan, karena itu
bila guru yang didatangkan Kepala Sekolah berhalangan, maka anggota yang
ditunjuk atau mengajukan diri bisa menggantikan berbagi ilmu kepada anggota
komunitas lainnya.
Siapa saja
bisa menjadi anggota Sekolah Rebo. Komunitas ini didirikan Januari 2005. Kini
anggota resmi yang tercatat berjumlah 50 orang. Jadwal kegiatannya
berganti-ganti, tergantung kesepakatan sebulan sebelumnya. Misalnya, bila
sekarang berbagi ilmu soal kuliner, besoknya bisa berganti keterampilan kerajinan,
dan besoknya lagi tentang bertanam. Siapa saja boleh datang. Sekolah Rebo hanya
memungut iuran Rp 2000 per kedatangan. Uang itu terkumpul utuh dan dimasukkan
ke kas, yang akan digunakan untuk membeli bahan keterampilan. Hasil praktik pun
dibagi rata ke semua anggota. Selanjutnya dijual lagi kepada peserta yang
hadir.
Karena tak ada
keharusan untuk hadir secara rutin, bisa saja anggota Sekolah Rebo memilih atau
mencari info ilmu apa yang akan diajarkan hari itu. Apakah membuat batik
pewarna alam, atau membuat jumputan, atau ilmu bertanam buah dan sayur. Namun
rata-rata semua keterampilan itu diminati. Pendeknya, siapa yang rajin datang
pasti memperoleh peluang. Masalahnya adalah, mau atau tidak memanfaatkan
keterampilan yang telah dimiliki menjadi peluang usaha. Contoh nyata bisa
dilihat, di mana banyak dari ibu-ibu anggota Sekolah Rebo yang kini sering
memperoleh pesanan kue. Karya anggota Sekolah Rebo beberapa bulan belakangan
ini bahkan dipajang di showroom yang
ada di kantor Kecamatan Depok. Pembelinya adalah tamu-tamu yang datang ke
Kecamatan.
Banyaknya
peluang untuk berkembang dibenarkan oleh Rusmiyati Budi, salah satu anggota
Sekolah Rebo. Rusmiyati, yang kerap disapa Ibu Budi, mengaku memetik banyak
keuntungan dari belajar di Sekolah Rebo. Ia mencontohkan keterampilan merajut
benang wol yang ia peroleh dari Sekolah Rebo dan sudah menghasilkan uang.
Sebelum bergabung di Sekolah Rebo, Rusmiyati lebih dulu bergabung dengan PKK
Kelurahan Catur Tunggal. Dari sinilah, ia yang sebelumnya tinggal di Kalimantan
mengenal banyak teman baru. Dari teman-temannya pula ia mendengar ada Sekolah
Rebo, lalu memutuskan bergabung. Walau awalnya tidak mengenal semua anggota
satu per satu, namun dengan kegiatan yang sering diadakan ia bisa berkenalan
dan saling silaturahmi, sambil belajar aneka keterampilan.
Tetapi wanita
yang menguasai keterampilan membuat kain smock
ini mengaku tidak melulu menimba ilmu di Sekolah Rebo. Keterampilannya membuat
kain smock juga ia bagikan secara
gratis di Sekolah Rebo. Dari seringnya berkumpul, ia pun dikenal sebagai ahli smock. Lalu ia memperoleh peluang
sebagai guru secara profesional bagi komunitas-komnitas kecil yang ada di
Yogya. Ia tidak pernah memasang tarif mahal. Karena niat awalnya adalah agar
bisa berbagi dan menjalin silaturahmi.
Soal berbagi
ilmu, anggota Sekolah Rebo lainnya, Ny. Pardiman, pemilik usaha bordir gim
untuk kostum wayang, juga merasakan manfaatnya. Namun ia tidak mengajarkan
membordir gim karena banyak yang tidak telaten. Ia memilih mengajar membuat tas
dari rajutan tali. Keterampilan membuat tas dari tali diperoleh Ny. Pardiman
dari internet. Ia bercerita, yang mencarikan tutorial di internet mengenai
kerajinan tersebut adalah cucunya yang masih SD, karena ia sendiri tidak bisa
membuka internet. Setelah bertemu tutorialnya, Ny. Pardiman belajar tahap per
tahap. Setelah bisa, ia lalu mengajarkan ke anggota Sekolah Rebo. Hingga
sekarang, teman-teman di Sekolah Rebo sudah bisa membuat tas, bahkan ada yang
sudah bisa menerima pesanan. Harganya tentu lebih murah dari tas serupa yang
dijual di toko.
Cikal bakal
terbentuknya Sekolah Rebo, berawal dari Ratna, Kepala Sekolah Rebo, yang memulai
aktivitasnya di PKK Kelurahan Condong Catur. Suatu kali oleh istri Bupati
Sleman, ia diminta aktif di Sekolah Jumat Kabupaten Sleman. Beberapa
keterampilan diajarkan di sana. Namun setelah ia amati, ternyata beberapa
ahlinya banyak yang berasal dari Kecamatan Depok, tempatnya tinggal. Lalu
tercetuslah ide membuat Sekolah Rebo. Maksudnya adalah agar ibu-ibu yang ahli
ini bisa saling tukar ilmu. Siapa tahu bisa dimanfaatkan untuk memperoleh
penghasilan tambahan. Sejauh ini Sekolah Rebo tidak mematok target atau semacam
kurikulm secara tertulis yang kaku. Jadwal pelajaran sudah disusun per
semester, tetapi kadang kala bisa berbelok bergantian. Ratna hanya berusaha
menuruti apa maunya anggota. Yang penting kegiatan itu bisa terselenggara rutin
dan selalu ada peminatnya.
Sekolah Rebo
kini menjadi kepanjangan tangan dari kegiatan Pemberdayaan Perempuan tingkat
Kecamatan Depok, Yogya, dan pada 2013 lalu pernah memperoleh bantuan dana hibah
dari Kabupaten Sleman sebesar Rp 15 juta. Uang sebanyak itu dimaksudkan untuk
penguatan modal kegiatan Sekolah Rebo. Tetapi sekarang dikembangkan untuk
pinjaman antar anggota dengan mengutip sedikit biaya administrasi. Tujuannya
adalah, bila ada anggota yang ingin mengembangkan keterampilan menjadi sebuah
usaha, bisa meminjam uang dari situ. Sayangnya, harapan Ratna belum sepenuhnya
terpenuhi. Memang ada beberapa anggota yang mau menerima pesanan kue dan
kerajinan, tetapi belum terlihat secara profesional mau menekuninya atau mengembangkan
sebagai usaha. Padahal ada anggota Sekolah Rebo yang menjadi juara merajut
tingkat nasional. Meski begitu, Ratna tetap berharap Sekolah Rebo terus
dilibatkan ke berbagai pameran agar anggotanya semakin terbuka dan mau
mengambil peluang usaha lewat keterampilan yang dimilikinya.
Komentar
Posting Komentar