WANITA DAN PROFESI : DWIA ARIES TINA PULUBUHU, Rektor Wanita Pertama Universitas Hasanuddin Yang Peduli Pada Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak
Perempuan kelahiran Tanjung Karang, Lampung 16 April 1964 ini menjadi rektor perempuan pertama Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Dia adalah Dwia Aries Tina Pulubuhu. Istri M. Natsir Kalla ini juga berperan aktif memperjuangkan perlindungan terhadap perempuan dan anak di Sulawesi Selatan. Bagi Guru Besar Sosiologi ini, perempuan lain pun bisa meniru apa yang telah dilakukannya. Memanfaatkan peluang, bekerja keras tanpa lupa berdoa, namun juga tetap memprioritaskan keluarga.
Di balik rasa
syukurnya mendapatkan kesempatan dan dipercaya sebagai rektor ke 12 Unhas untuk
periode 2014-2018, banyak program yang harus ia jalankan untuk memajukan Unhas.
Dari awal Dwia sudah bertekad untuk bekerja maksimal dan menjalankan tugas
dengan sebaik-baiknya. Baginya, ini justru menjadi awal perjalanan, bukan akhir
dari perjuangannya, sejak ia mulai mencalonkan diri menjadi Rektor. Dwia
sendiri adalah lulusan Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya yang kemudian
menikah dengan orang Bugis lalu menetap di Makassar. Karena menetap di
Makassar, ia pun mencoba mendaftar menjadi dosen Sosiologi di Unhas tahun 1988,
hingga kemudian resmi diangkat pada tahun 1989. Sejak saat itu, ia juga
melanjutkan pendidikan tingkat S2 hingga doktoral S3 dengan beasiswa luar
negeri.
Selain itu Dwia
juga sempat mengikuti berbagai pendidikan singkat dan non gelar di beberapa
negara, antara lain kelas pendek Religion Pluralism di New York University, New
York - AS, Human Rights Training Study Sesssion di Chulalongkorn University,
Bangkok - Thailand, Program Diploma dalam bidang Conflict Resolution di Uppsala
University – Swedia, serta Program Academic Recharging Internationalization of
Higher Education di Helenic American University, Athena – Yunani. Di Unhas
sendiri, Dwia mengawali karier struktural dengan menjadi Sekretaris Program
Studi Sosiologi pada program pascasarjana Unhas tahun 2000 hingga 2002. Baru di
tahun 2006 ia dipercaya menjadi Wail Rektor IV selama 2 periode.
Tahun 2014,
Unhas menggelar pemilihan Rektor. Perlu diketahui, selama 58 tahun dan 11
pergantian Rektor, Unhas belum pernah memiliki rektor perempuan. Akhirnya, Dwia
pun mengajukan diri, apalagi niatnya ini juga didukung teman-temannya. Ia
berpikir Unhas memiliki sumber daya manusia yang mumpuni dan tak memberikan
perlakuan berbeda antara laki-laki dan perempuan, jadi mengapa tidak ia
manfaatkan kesempatan ini. Prosesnya cukup panjang, Dwia harus bekerja keras
meyakinkan para senator dan menunjukkan bahwa ia mampu mengemban tugas
tersebut. Selain itu, ia juga harus meyakinkan civitas akademika bahwa dirinya
memiliki program bagus dan bisa ikut memajukan Unhas. Memang butuh perjuangan
dan kerja keras, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Banyak pula
tantangan yang harus ia hadapi dan cukup berat. Bahkan ada yang mengutarakan di
sebuah media bahwa kampus Unhas dipandang sebagai kampus macho, tidak cocok dipimpin seorang perempuan. Namun itu malah
menjadi pemantik semangat buat Dwia untuk menunjukkan dan meyakinkan.
Istilahnya, ia harus membuka pintu dulu dan menunjukkan bahwa perempuan juga
bisa menjadi Rektor. Tentu dengan niat baik demi kemajuan Unhas. Ini juga bisa
menjadi inspirasi bahwa kalau ia saja bisa, tentu perempuan lain juga bisa dan
harus berani untuk berjuang.
Dwia
bercerita, sejak kuliah ia memang sudah aktif berorganisasi. Apalagi pengayaan
fakta ada di masyarakat. Suatu hari, selesai studi di Manila tahun 1995 yang
kebetulan waktu itu masih era people power,
isu-isu anti kekerasan terhadap perempuan sedang tinggi. Menurut Dwia, kalau ia
hanya melakukan penelitian tanpa mengadvokasi sekaligus mendampingi dan terjun
langsung, sepertinya ada yang kurang dan belum puas. Oleh karena itu, sejak
awal ia aktif dan ikut di lembaga perlindungan perempuan dan anak. Ada banya
organisasi yang sudah ia ikuti, mulai Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP),
Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan, Yayasan Pemerhati Masalah
Perempuan dan Anak (PERMATA), dan Wahana Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Ada banyak
cerita menarik juga soal perhatiannya terhadap perlindungan perempuan dan anak.
Tentunya banyak sekali yang berkesan, namun yang paling ia ingat sekali, saat
era reformasi dan masih menjadi dosen, ia sempat ikut berjuang bersama teman
aktivis. Kebetulan ia ditunjuk sebagai pengurus, jadi mengharuskannya keliling
daerah untuk mengedukasi perempuan tentang hak pilih. Selain itu di FPMP ia dan
teman-teman juga menelitis soal kekerasan dalam rumah tangga yang dialami para
perempuan di Sulawesi Selatan. Hasilnya, ada dua karya buku yang sudah
diterbitkan dan jadi bahan informasi penting saat mengawal UU KDRT. Dwia bahkan
ikut turun ke jalan dalam aksi demo. Ini memang panggilan dan bagian dari
jiwanya. Kalau ada ketidak adilan, baik dalam keluarga atau masyarakat, ia
langsung cepat bergerak dan biasanya kebagian urusan menuntut hak. Tidak cuma di
keuarga dan organisasi, begitu juga saat di kampus. Pendeknya ia ingin
konsisten baik saat di luar atau di dalam kampus dengan tetap mendukung gerakan
perempuan.
Sebelumnya ia juga
pernah terlibat dalam proyek pengentasan kemiskinan sebagai regional manager. Saat itu ia masih
belum punya jabatan struktural di kampus. Proyek tersebut merupakan kerjasama
World Bank-Kimpraswil tahun 2003 hingga 2006. Tugasnya adalah meng-cover seluruh wilayah Sulawesi. Setelah
proyek yang bernama Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) itu
selesai, Dwia kemudian aktif kembali di kampus dan dipercaya menjadi Wakil
Rektor. Dwia sendiri memang sangat tertarik dengan konsep pengentasan
kemiskinan dan berusaha bisa tetap berkontribusi. Caranya, walaupun tidak bisa
turun langsung ke lapangan seperti dulu, tapi ia masih bisa membuat konsep
program. Akhirnya, ia bersama timnya pun ikut mendesain program pengentasan
kemiskinan di Sulawesi Barat dengan nama Bangun Mandar (Program Pengembangan
Desa Berbasis Mandiri). Ia dan timnya mendampingi Gubernur Sulawesi Barat
hingga programnya gol. Ini juga sesuai dengan latar belakang ilmu sosiologi
yang ia minati.
Sejak kecil
hidup Dwia sering pindah ke beberapa daerah mengikuti ayahnya yang berdinas di
bank. Dari Aceh, Riau, Madura, Kupang, dan terakhir di Surabaya. Jadi bisa
dibilang Dwia dibesarkan sebagai anak nusantara. Dengan latar belakang
pengalaman budaya yang beragam, Dwia pun jadi tertarik ke bidang
kemasyarakatan. Ia juga sering membaca buku sejarah dan peradaban. Menariknya,
apa yang terjadi di masyarakat ini pada dasarnya berjalan dengan dinamis, selalu
ada makna di balik realita yang sebenarnya. Itulah yang melatarinya tertarik
pada bidang ilmu sosiologi. Selain berkutat di dunia sosiologi, dulu Dwia juga
sempat menjadi kolumnis di SKH Fajar yang tulisannya terbit setiap minggu.
Sayangnya dengan kesibukannya di jabatan struktural membuatnya jadi kedodoran
untuk menepati deadline. Maka
daripada deadline selalu molor, maka
akhirnya ia tidak lagi menjadi kolumnis di sana. Tetapi itu tidak berarti ia
berhenti menulis. Hasrat untuk menulis akhirnya ia aplikasikan dalam
keseharian. Beberapa tulisannya yang pernah dimuat di Harian Fajar pun telah
dibukukan dan dirilis dengan judul Menonton
Pertarungan Manusia Tikus.
Dwia bersyukur
mendapat suami yang sangat mendukung aktivitasnya. Bayangkan, saat ia harus
studi keluar negeri meninggalkan anak dan suami, suaminya sangat men-support dan mau menggantikan tugasnya
sampai ia kembali. Setelah pulang ke Tanah Air, bukannya santai, Dwia langsung
ikut turun ke lapangan bersama aktivis. Sang suami pun sangat memahami semua
aktivitasnya. Bisa dibilang karena dukungan dan restu dari sang suamilah yang
membuat dirinya bisa seperti sekarang. Tentu ia juga selalu berkonsultasi dan
meminta pertimbangan pada suami sebagai teamwork.
Sebelum ia menjalani segala sesuatu, Dwia selalu bertanya pada suaminya
terlebih dulu. Biasanya ia juga menyampaikan apa pertimbangan baiknya dan
meminta posisi tawar. Intinya, ini merupakan masalah komunikasi. Bila
pertimbangannya banyak yang positif, tentu suaminya mendukung. Asalkan yang
jelas, prioritas keluarga tetap didahulukan.
Sementara
dengan anak-anaknya, Diwa mengaku kerap mendapatkan protes bila melihatnya
terlalu sibuk. Namun sebisa mungkin ia berusaha mengatur waktu buat keluarga.
Ada yang mengatakan, kalau ibunya sibuk maka anak-anaknya pun jadi tidak
mendapat perhatian. Namun menurut Dwia itu tidak benar. Karena baginya sesibuk
apapun seorang ibu, bila koordinasi dan komunikasinya bagus, keluarga akan
baik-baik saja. Hal itu pun sudah ia buktikan. Dwia beruntung, keempat anaknya
sudah terlatih mandiri. Sejak SMA ia tawarkan untuk mengikuti program
pertukaran pelajar. Agar ada waktu bersama keluaga biasanya ditentukan agenda
tersendri. Misalnya, seperti tahun 2014 lalu dengan menunaikan umrah bersama.
Berhubung posisi anak-anaknya saat ini juga tersebar di mana-mana, maka memang
harus dijadwalkan. Anak sulungnya sudah menikah dan berwirausaha di Bandung,
yang nomor dua seorang dokter yang sedang bertugas di Bantaeng. Sementara yang
bungsu berada di New Zealand.
Dwia punya
keinginan, setelah pensiun nanti ingin melakukan hal-hal yang belum sempat ia
coba. Ia ingin membuat dan menyelesaikan novel karangannya, karena itu juga
merupakan passion-nya. Selain itu ia
juga ingin belajar musik, bermain piano. Di rumahnya saat ini sebetulnya sudah
ada guru musik yang siap mengajar, tapi waktunya untuk mempelajari itu memang belum
ada. Dwia juga ingin tetap konsisten dengan cita-citanya, bergerak dan berjuang
demi perlindungan perempuan dan anak, sampai kapan pun.
Komentar
Posting Komentar